Selasa, 10 April 2018

DAMPAK DARI SEDEKAH


DAMPAK DARI SEDEKAH :

Tiba-tiba seorang kakek muncul ketika Rasulullah sedang berkumpul bersama para sahabatnya di dalam masjid selepas mengerjakan shalat jamaah.
"Wahai, Rasulullah. Saya sangat lapar. Tolonglah saya. Dan saya tidak punya pakaian kecuali yang menempel di badan sekarang. Berilah saya."

Sebenarnya Rasulullah sangat iba menyaksikan keadaan orang tua itu. Wajahnya pucat, bibirnya membiru dan tangannya agak gemetar memegangi tongkatnya. Cuma kebetulan beliau sedang tidak punya apa-apa. Sudah habis diberikannya kepada orang lain.

"Maaf, orang tua. Tidak ada yang dapat saya berikan saat ini. Tetapi jangan putus asa. Datanglah kepada anak saya, Fatimah, mungkin ada sesuatu yang bisa diberikannya sebagai sedekah.

Maka pergilah kakek itu kepada Fatimah. Di depan rumahnya kakek itu berseru, "Wahai putri Rasulullah. Aku lapar sekali. Dan tidak punya apa-apa. Aku datang kepada ayahmu, tetapi beliau sedang tidak punya apa-apa. Aku disuruhnya datang kepadamu. Mungkin engkau, punya sedekah untukku?"

Fatimah kebingungan. Ia tidak memiliki barang yang cukup berharga untuk disedekahkan. Padahal, selaku keluarga Rasulullah ia telah terbiasa menjalani hidup amat sederhana, jauh di bawah taraf kehidupan rakyat jelata.

Yang dianggapnya masih lumayan berharga cuma selembar kulit kambing yang biasa dipakai sebagai alas tidur Hasan dan Husain. Jadi, itulah yang diambil dan diserahkannya kepada si kakek.
Orang tua itu lebih kebingungan daripada yang memberikannya. Ia sedang lapar dan tidak punya apa-apa. Mengapa kepadanya diserahkan selembar kulit kambing? Buat apa?

"Wahai Putri Rasulullah. Apakah kulit kambing itu dapat mengenyangkan perutku dan dapat kupakai untuk menghangatkan badanku?" tanya orang tua itu.

Fatimah tidak bisa menjawab. Ia kembali masuk ke dalam rumahnya, mencari-cari benda lain yang pantas disedekahkan. ia bertanya-tanya, mengapa ayahku mengirimkan orang ini kepadaku, padahal Ayah tahu aku tidak lebih kaya daripada beliau?

Sesudah termenung sejenak barulah ia teringat akan seuntai barang pemberian Fatimah binti Abdul Muthalib, bibinya. Barang itu amat indah, namun ia merasa kurang pantas memakainya karena ia dikenal sebagai pimpinan umat. Barang itu adalah sebuah kalung emas.

Buru-buru diambilnya benda itu dari dalam kotak simpanannya, lalu diserahkan kepada si kakek. Orang itu terbelalak melihat benda yang kini digenggamnya. Begitu indah. Pasti amat mahal harganya. Dengan suka cita orang itu pergi menemui Rasulullah kembali di masjid.

Diperlihatkannya kepada beliau kalung emas pemberian Fatimah. Rasulullah hanya berdoa, "Semoga Allah membalas keikhlasannya."
Salah satu sahabat nabi yang kaya raya, Abdurrahman bi Auf, berkata, "Hai, orang tua. Maukah kaujual kalung itu kepadaku?"
Kakek itu menoleh kepada Nabi, "Bolehkah saya jual, Ya Rasul?"
"Silakan, kalung itu milikmu," sahut Nabi.

Orang tua itu lantas berkata kepada sahabat Abdurrahman bin Auf, "Berikan kepadaku beberapa potong roti dan daging untuk mengganjal perutku, dan sekedar biaya kepulanganku ke kampung."

Abdurrahman bi Auf mengeluarkan duapuluh dinar dan seratus dirham, beberapa potong roti dan daging, pakaian serta seekor unta untuk tunggangannya ke kampung.

Dengan gembira kakek itu berkata, "Terima kasih, wahai kekasih Allah. Saya telah mendapatkan lebih daripada yang saya perlukan. Bahkan saya telah merasa menjadi orang kaya.

Nabi menjawab, "Terima kasih kepada Allah dan Rasul-Nya harus diawali dengan berterimakasih kepada orang yang bersangkutan. Balaslah kebaikan Fatimah."

Orang tua itu kemudian mengangkat kedua tangannya ke atas, "Ya Allah, aku tak mampu membalas kebaikan Fatimah dengan yang sepadan. Karena itu aku mohon kepada -Mu, berilah Fatimah balasan dari hadirat -Mu, berupa sesuatu yang tidak terlintas di mata, tidak terbayang di telinga dan tidak terbetik di hati, yakni surga -Mu, Jannatun Na'im."
Rasulullah menyambut doa itu dengan amin seraya tersenyum ceria.

Beberapa hari kemudian, budak Abdurrahman bin Auf, bernama Saham datang menghadap Nabi sambil membawa kalung yang dibeli dari orang tua itu.

Ya Rasulullah," ujar Saham. "Saya datang kemari diperintahkan Tuan Abdurrahman bin Auf untuk menyerahkan kalung ini untukmu, dan diri saya sebagai budak diserahkannya kepadamu."
Rasulullah tertawa. "Ku terima pemberian itu. Nah, sekarang lanjutkanlah perjalananmu ke rumah Fatimah, anakku. Kalung ini tolong serahkan kepadanya. Juga engkau kuberikan untuk Fatimah."

Saham lalu mendatangi Fatimah di rumahnya, dan menceritakan pesan Rasulullah untuknya. Fatimah dengan lega menyimpan kalung itu di tempat semula, lantas berkata kepada Saham, "Engkau sekarang telah menjadi hakku karena itu, engkau kubebaskan. Sejak hari ini engkau kembali menjadi orang merdeka."

Saham tertawa nyaring sampai Fatimah keheranan, "Mengapa engkau tertawa?"
Bekas budak itu menjawab, "Saya gembira menyaksikan riwayat sedekah dari satu tangan ke tangan berikutnya.

Kalung ini tetap kembali kepadamu, wahai putri junjungan, namun karena dilandasi keikhlasan, kalung ini telah membuat kaya orang miskin, telah menjamin surga untukmu, dan kini telah membebaskan aku menjadi manusia merdeka."

(Ditulis ulang dari 30 Kisah Teladan, oleh Alm. K.H Abdrrahman Arroisy)
Share:

Harta Yang Dighashab


Soal: 
Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu.
Syaikhuna al-karim:
Seperti yang sudah diketahui bahwa tanah Palestina semuanya dirampas oleh entitas Yahudi. Di sana banyak properti dan tanah yang dirampas itu tidak diketahui pemilik yang sebenarnya. Dan sebagian dari tanah ini diserahkan kepemilikannya oleh negara Yahudi kepada individu atau perusahaan agar digunakan dalam proyek swasta di situ. Dan saya hidup di Palestina. Ditawarkan kepada saya untuk menyewa properti (toko) di satu bangunan yang dimiliki oleh seorang Yahudi di atas tanah yang dirampas di salah satu kampung Palestina. Dan pemilik tanah ini tidak diketahui, mungkin pengungsi atau terusir.
Apakah boleh menyewa properti itu? Jika pemilik tanah yang sebenarnya tidak diketahui apakah hukumya berbeda? Ataukah, transaksi atasnya berdasarkan bahwa itu merupakan tanah yang dirampas dan tidak boleh bertransaksi dengannya baik jual beli, sewa??
Semoga Allah melimpahkan berkah kepada Anda ya syaikhuna al-karim dan semoga Allah menambah kekuatan Anda dalam hal fisik dan maki meluaskan ilmu Anda dan semoga Allah memberikan kemenangan melalui tangan Anda.
Jawab:
Wa’alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuhu.
Ya akhiy, sesungguhnya harta yang dighashab itu tetap milik pemiliknya dan tidak boleh dibeli atau disewa dari orang yang mengghashabnya. Rincian hal itu sebagai berikut:
Harta yang dicuri atau yang dighashab adalah milik pemiliknya di mana saja dia menemukannya. Imam Ahmad telah mengeluarkan dari Samurah, ia berkata: “Rasulullah ﷺ bersabda:
«إِذَا سُرِقَ مِنَ الرَّجُلِ مَتَاعٌ، أَوْ ضَاعَ لَهُ مَتَاعٌ، فَوَجَدَهُ بِيَدِ رَجُلٍ بِعَيْنِهِ، فَهُوَ أَحَقُّ بِهِ، وَيَرْجِعُ الْمُشْتَرِي عَلَى الْبَائِعِ بِالثَّمَنِ»
“Jika suatu barang dicuri dari seseorang atau barang miliknya hilang, lalu dia menemukannya di tangan orang lain dengan zatnya maka dia lebih berhak dengannya, dan pembeli meminta kembali harnya kepada penjual”.
Nas ini tentang bahwa harta yang dicuri adalah milik pemilikya. Demikian juga Rasul ﷺ bersabda:
«عَلَى اليَدِ مَا أَخَذَتْ حَتَّى تُؤَدِّيَ»، أخرجه الترمذي وقال هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ
“Tangan itu wajib atas apa yang dia ambil sampai dia tunaikan” (HR at-Tirmidzi dan ia berkata: ini hadits hasan).
Ini mengenai harta yang dighashab.
Begitulah, siapa saja yang menghashab tanah maka dia telah melakukan keharaman dan melakukan dosa besar, karena sabda Rasul ﷺ:
«من ظلم قِيدَ شبرٍ من الأرض طوّقه من سبع أرضين» أخرجه مسلم من حديث عائشة رضي الله عنها
“Siapa saja yang menzalimi sejengkal tanah saja, niscaya ia ditimbun dengan tujuh lapis bumi” (HR Muslim dari hadits Aisyah ra).
Yakni, siapa saja yang menghashab sesuatu berupa tanah, sedikit atau banyak, maka ia telah melakukan dosa yang layak dihukum di akhirat. Dan di dunia layak dijatuhi sanksi ta’zir dan diharuskan mengembalikan apa yang ia ghashab, dengan kondisi sama seperti saat dia ghashab, kepada pemiliknya. Hal itu sesuai sabda Rasul ﷺ:
«عَلَى اليَدِ مَا أَخَذَتْ حَتَّى تُؤَدِّيَ»، أخرجه الترمذي وقال هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ
“Tangan itu wajib atas apa yang dia ambil sampai dia tunaikan” (HR at-Tirmidzi dan ia berkata: ini hadits hasan).
Dan jika barang yang dighashab itu rusak di tangan orang yang menghashab atau dia ubah kondisinya seperti kain yang dighasab telah dijahit, atau logam telah dilebur, atau hewan telah diembelih, maka ia menjamin nilainya kepada pemiliknya.
Atas dasar itu, jika Anda tahu bahwa sesuatu itu adalah barang curian atau barang yang dighashab maka jangan Anda beli, dan jangan Anda sewa. Demikian juga jika Anda ragu (syubhat) maka jangan Anda beli. Rasul ﷺ bersabda:
«دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لَا يَرِيبُكَ» أخرجه الترمذي عن الحسن بن علي رضي الله عنهما وقال الترمذي “هذا حديث حسن صحيح
“Tinggalkan apa yang meragukanmu kepada apa yang tidak meragukanmu” (HR at-Tirmidzi dari al-Hasan bin Ali ra dan at-Tirmidzi berkata” ini hadits hasan shahih).
Oleh karena itu, selama Anda yakin bahwa tanah itu dighashab baik pemilikya diketahui atau tidak, yang penting adalah Anda yakin bahwa itu dighashab, maka tidak boleh Anda menyewanya sebab orang yang menghashab itu tidak memilikinya dan tidak bisa mengikatkan akad dengan Anda.
Atas dasar itu, maka semoga Allah mencukupkan Anda dari penyewaan itu. Carilah properti lainnya untuk Anda sewa. Semoga Allah melimpahkan berkah untuk Anda di dalamnya dan menjadi lebih baik untuk Anda dalam hal dunia dan agama. Bagaimanapun properti yang dighashab itu maka jangan menyesalinya. Semoga Allah selalu bersama Anda.
/ Silsilah Jawaban asy-Syaikh al-‘Alim Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah Amir Hizbut Tahrir Atas Pertanyaan di Akun Facebook Beliau “Fiqhiyun” /
[ Sumber : sholihah.net ]
Share:
Diberdayakan oleh Blogger.

Recent Posts

Unordered List

Kategori

Theme Support